
Pertama kali berkenalan, saat saya berada di daerah pegunungan nan sunyi di pelaihari. Di tempat Beliaulah saya menginab satu malam di rumahnya. Menggali cerita, menikmati pemandangan indah lukisan dari sang pencipta dan belajar kehidupan dari penduduk sekitar.
Asap pedapuran masih saja mengepulkan dirinya di dapur sederhana. Di luar atas sana terlihat bintang yang sinarnya kelap-kelip. Diselimuti dingin dan suara jengkrik yang nyaring, maka semakin kuatlah aroma malam pegunungan sunyi. Suasana itu mengigatkan saya dengan suasana di pematang panjang saat saya masih kecil. Suasana tanpa aroma polusi, dan lahan seluas pekuburan sekarang, meskipun di pematang tak terdapat gunung satu pun.
Di malam tersebut, ibu menceritakan bahwa keluarganya baru pindah pada tahun 1988 dalam program transmigrasi asal Jawa Timur. Saat itu, ibu baru mempunyai seorang anak perempuan. Lahan yang disediakan untuk satu kepala rumah tangga seluas 3 hektar. Setelah Menetap beberapa tahun disana, maka lahirlah dua orang anak, satu orang laki-laki dan si bungsu perempuan. Dan kini semua anak beliau kuliah di perguruan tinggi Islam negeri terbesar di Banjarmasin.
Dimalam itu juga ibu bercerita mengenai perkakas pedapurannya yang sederhana, tanpa memiliki mangkok makan karena semua mangkok makan yang ada di rumah habis pecah untuk pembelajaran.
“semua mangkok di sini pecah semua, ndok. Ituh, anak-anak disuruh untuk mengukus makanan ke dalam panci, eh ternyata yang dikukus bukan saja makanannya tapi mangkoknya juga. Yah biarlah, Anggap ini pengalaman, jadi mereka cerdas kedepannya” kata Ibu
Mendengar cerita ibu, saya pun tertawa geli. Tapi, ada benarnya juga apa yang dikatakan beliau. Pelajaran yang berharga hanya didapat dari pengalaman.