Jumat, 14 Februari 2014

Ana Laa Afham Fil Siyasi

0 komentar

Judul diatas kalau di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi aku tidak paham di dalam politik. Dengan persi bahasa arab itulah aku tak sengaja melontarkannya dalam sebuah acara di hari minggu. Memang hidup tak pernah lepas dengan politik, segala hal kebijakan mengandung unsur politik, apapun itu. Namun, adakalanya kita tidak menyadarinya. Aspek politik inilah yang tak pernah terlepas dari mata rantai kehidupan. Karena di dalam pemerintahan memerlukan politik, dan juga di dalam ekonomi sangat membutuhkan politik, yang kalau disederhanakan politik merupakan seni taknik dan strategi. Tidak ada yang salah dalam politik. Secara tiore politik bagi sebagian orang adalah ilmu yang menyenangkan, sebab berdiplomatik juga bagian dari politik. Bagaimana strategi untuk memakmurkan rakyat dan mensejahterakannya dengan prinsip keadilan. Dalam hal ini, membutuhkan politik. Dengan langkah-langkah yang jitu dan di dukung dengan statmen-statmen yang kridibel.

Namun, aku menjadi tak paham dengan politik, jika politik itu sendiri diselewengkan oleh pelakunya sendiri. Mereka menggunakan wewenang kekuasaan dengan politik hanya untuk memenuhi kepuasaan sendiri dan nafsunya bahkan demi kelompoknya yang hanya dalam waktu yang sesaat ini dan akhirnya menyakiti orang banyak dan banyak masyarakat yang tertindas.

Aku menjadi tak paham dengan politik, ketika kebenaran telah menjadi tabu bagi para pelakunya. Segala macam cara di halalkan untuk mendapat apa yang diinginkan, tanpa memperhitungkan dampak buruknya. Kawan akan berubah menjadi lawan, dan boleh jadi lawanpun akan menjadi kawan karif.
Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan politik, politik adalah politik, tapi para pelaku politiklah yang telah berbuat gap.

Ingat bangsa yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi kebenaran.

11 february 2014

Minggu, 09 Februari 2014

Altar

0 komentar


Konon jika sebuah altar yang diletakkan di atas pintu rumah, maka akan menolak roh dan makhluk jahat yang ingin masuk ke dalam rumah, karena para dewa bersemanyam di altar akan melindungi rumah tersebut. Begitulah kira-kira kepercayaan agama shinto, Cina, yang biasanya tayang di TV, pada masa kecilku. Jadi tak heran, setiap rumah orang chines terdapat altar diatas pintu depannya.

Altar tersebut berbentuk pesegi delapan, disampingnya terdapat gambar dewa-dewa, binatang seperti anjing, ular, tulisan-tulisan cina dan ditengahnya terdapat cermin bulat. Aku hanya memandang sepintas benda tersebut setelah sekian lama aku baru tau bahwa itu adalah altar, benda keramat film2 mandarin yang ku tonton saat aku masih SD. Penasaran, aku ambil gambar saja ketika aku berada di rumah Rara.

Walaupun mereka ada yang muslim, namun kepercayaan itu masih melekat terhadap mereka. Termasuk rumah yang berada di komplek persadamas, yang mayoritas penduduknya adalah chines, jadi jika aku ke komplek tersebut karena suatu urusan, sering melihat anak-anak chines bermain basket. Mereka tersenyum, dan adapula yang menyembunyikan wajahnya di balik bola basket, dengan diiringi senyum yang menawan. Senyum itu seperti ika, hehehe..

Lain halnya ketika aku bertendang ke tempat prakteknya Muhammad Yusuf di kampung melayu, Banjarmasin. Pak Yusuf, seorang muslim asal Chines, di meja tempat praktek beliau  terdapat banyak kata-kata bijak, bertuliskan huruf cina. Hampir seluruh meja terdapat kata-kata tersebut. Memang negeri tirai bambu ini terkenal dengan kaya budayanya.

 
On february 9, 2014

Kamis, 02 Januari 2014

The children

0 komentar

Miss Ika cantik, keep smile. Tulis Fatur dalam selembar kertas, yang dibaca nyaring oleh Shava. Dan didengar oleh yang lain, sehingga mereka semua tersenyum. “kamu juga tampan” sahut pujiku kepada mereka.
“syukur, untung miss tak katakan kami cantik, kalau cantik kan cewe, hehehe”.

Dasar anak-anak, adakalanya mereka sangat menyenangkan, namun disisi lain juga menyebalkan. “Namun, mereka polos. Apa adanya kalau bicara dan menilai” kata Alma Sofia saat bercerita kebingungan memilih baju untuk dipakainya. Dan kehidupan anak-anak itu sungguh menyenangkan. Andai kehidupan anak-anak itu bisa terulang lagi. Bagaimana ya rasanya. Aku berharap semoga saja tidak. Sebab, pernah aku menjumpai orang dewasa namun tingkah lakunya seperti anak-anak, tak mau dewasa, aih na’udzubillah. Dan pernah juga aku menemui seseorang yang wajahnya masih anak-anak, tapi tingkahnya sudah dewasa dan umurnya pun juga dewasa, babyface.

Di waktu yang lain, menjelang siang di hari sabtu itu aku ngobrol dengan seorang pengajar PAUD, dan menanyakan asal tempat tinggal beliau yang saat itu aku berada di Martapura untuk suatu urusan. “Dari Martapura sini aja” sabut ibu yang diperkirakan berumur 46 tahun. 

Tentang PAUD, aku teringat Awi, seorang anak tetangga yang sekarang duduk di kelas 2 MI. Awi, tak bisa membaca. Saking parahnya, hurup al phabet saja ia kurang hapal, dan mengingatnya. Padahal Awi sebelum masuk MI, sudah dimasukkan oleh orang tuanya ke PAUD. Sebelum masuk SD atau MI, pemerintah mencanangkan supaya anak-anak didik sudah bersekolah di PAUD atau TK, agar kedepannya kelas satu SD atau MI sudah bisa baca maupun tulis. Namun, pada realnya ada beberapa murid yang belum atau kurang bisa baca, walaupun sudah bersekolah di PAUD. Andai semua guru Indonesia sekarang seperti Omar Bakrie, boleh jadi semua anak didiknya cerdas-cerdas dan Indonesia akan menjadi negara maju dan semakin sejahtera. Karena Omar Bakrie berorintasi untuk mencerdaskan anak bangsa bukan sekadar mencari uang atau karier. 

“apa kendalanya bu mengajar di PAUD?” tanyaku sambil bersantai memandangi rintikan hujan, yang kala itu hujan turun cukup deras.

“menyenangkan, rame” sahut si ibu

“iya bu, hehe. Jadi, kendalanya apa bu? tanyaku kembali

Si ibu terdiam, tak menjawab. Bisa jadi si ibu belum tau apa arti kendala, sehingga beliau salah jawab dan terdiam. Atau bahkan ada top secret di sekolah sehingga tidak bisa di ceritakan. 

“kalau lulus PAUD, apakah setiap murid di jamin untuk bisa membaca bu”

“aku tidak berani menjamin, ding. Namun, biasanya kalau siswa sudah lulus dari sekolahan kami, minimal sudah mengetahui hurup al phabet, dan bisa melapalkannya” jawab si ibu. Lain pengajar lain pula metodenya dan niatnya, hehe. Sahutku dalam hati. Semoga saja guru-guru yang ada indonesia berpikiran bahwa mengajar bukan untuk mengejar materi tapi untuk membangun peradaban.

at Dawn, 1st january 2014
 

Goresan Biasa Copyright © 2008 Black Brown Art Template designed by Ipiet's Blogger Template