Kamis, 30 Desember 2010

Bukan Siraturrahmi Biasa

0 komentar
Senin itu bukan hari biasa, sebab aktifitas sejak awal desember semakin bertambah. biarpun letih melanda, ku harus tetap menikmati hari-hari sebagai pejalan kaki (^__^), menjadi juru jepret ibu-ibu dalam siraturrami ke tiga tempat sekaligus dalam satu hari.. ehhmmmmmm yummy

Berkunjung ke rumah sakit sari mulia. Seorang perempuan setengah baya nan anggun menyapa kami, mempersilakan masuk, duduk dan ngobrol. Beliau adalah ibu Dr Soedarto. Istri dari Dr Soedarto, pemilik rumah Sakit Sari Mulia kota Banjarmasin asal Padang, mempunyai empat anak.

Dalam pertemuan tersebut beliau bercerita, salah satu dari empat anak beliau sekarang tinggal di Jerman, karena bersuamikan orang Jerman dan dinikahkan oleh orang Indonesia indo arab tapi tinggal di Jerman. Di Jerman pula ada mesjid, dan itu adalah mesjid satu-satunya disana. Saat pernikahan itupula, beliau beserta suami harus ke Jerman, ketika jerman musim salju. ”Jadi terasa dingin, dan gelap” imbuhnya.

”Kok bisa gelap bu?” tanya salah seorang ibu dengan penasaran.

”Iya, karena jendela-jendela luar semuanya tertutup oleh salju, matahari pun tak terlihat”

Disamping itu, ibu Soedarto juga bercerita tentang anak laki-laki beliau yang pada tahun 2009 lalu telah menikah dengan seorang anak Dokter asal Tanah Bumbu dan sekaligus sebagai politus , yakni Dr Zairullah Azhar. Yang sekatang dari hasil perkawinan tersebut di karuniai satu orang anak.

Dalam pembicaraan selanjutnya, beliau sangat menyayangkan sikap pemerintah setempat, yang telah mengambil karyawan terbaiknya sebanyak tiga orang menjadi pengawai negeri sipil di bidang kesehatan. ” Padahal kami telah mengkuliahkannya lhoo bu, sampai jadi spesialis” ungkapnya dengan nada sedih.

Menurut beliau pemerintah tidak melihat kepada perusahaan swasta, buktinya dengan seenaknya mengambil keryawan tersebut.

Mengenai perjalanan hidup, ibu Soedarto mengungkapkan, bahwa dulunya beliau berasal dari kalangan grass rot, yang lulus kuliah harus membanting tulang bekerja untuk menyekolahkan adik-adik beliau agar menjadi orang berhasil. Dengan makan nasi jagung —pada waktu itu— hal itu merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa. Alhasil, dengan pengorbanan silam, kini beliau merasakan menjadi salah seorang wanita sukses yang berada di Banjarmasin.

Pesan yang dapat dimabil, yakni hidup harus berusaha (labora urgu sum)

Senin, 27 Desember 2010

Sama Tapi Berbeda

1 komentar
Menikmati perjalan pagi pasca turunnya hujan di Jalan A.Yani Kalsel, sejuk. Dari perjalanan itu pulah, saya mengamati beberapa aktifitas sama namun berbeda. Diantaranya kegitan poltas yang mengatur lalu lintas jalan tersebut.

Seperti di jalan A Yani Km 14.00, poltas laki-laki yang berperakwakan besar dan terlihat masih muda mencoba menghentikan lalu lalang kendaraan bermotor dan mobil yang lewat untuk mempersilakan kendaraan lain memutarkan arah. Namun, apa yang dilakukan si poltas kurang di gubris oleh di pengendara bermotor yang lewat, mereka tetap melintas jalan terus, walaupun si poltas mempluitkan benda yang tergantung di lehernya dengan salah satu lengannya memberikan tanda STOP.

Berbeda di jalan A.Yani Km 7.00, seorang poltas laki-laki berperawakan kecil, lebih tua, saat seorang kakek membawa banyak barang mau menyeberangi jalan, si poltas tanpa ragu-ragu langsung meng-STOP kendaraan yang lewat dan mempersilahkan kakek tua tersebut menyeberang diiringi gandengan tangan si poltas.

Seseatu yang sama, yakni sama-sama terjadi di jalan, tapi berbeda sikap dan tindakan. Semoga ada pelajaran, dan coba analisis sendiri kejadian tersebut..

Minggu, 26 Desember 2010

Mencari Emas se Gunung Untuk Sesuap Nasi

0 komentar
Diantara ribuan pulau yang ada di nusantara, pulau Kalimantan Selatan lah yang ia pilih sebagai planning hidup, untuk memperbaiki nasib.

Adalah Setyo, seorang lelaki kelahiran 1982. Alumnus Fisif UMSIDA Semarang ini hijrah ke Kalimantan Selatan pada pertengahan 2009 silam dan berdomisili di kabupaten HSS atau kota Kandangan. Sebagai anak tertua, Setyo berkeinginan untuk membantu meringankan beban keluarganya yang berada di Solo. Karena di Solo sulit memperoleh perkerjaan, maka dengan bismillah, ia menekadkan diri berhijarah ke Kalsel. Sesampai di Kalsel, pemerintah Kalsel lewat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) telah membuka lowongan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Maka tak bertele-tele, Setyo melamar menjadi PNS. Setelah tes yang memakan waktu seharian, ternyata Setyo dinyatakan lulus seleksi CPNS di HSS dan diletakkan di bagian Humas DPRD HSS sesuai dengan pendidikannya yakni Fisif.

Hanya beberapa bulan berada di Kandangan, Setyo sudah dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai sosok yang religius dan ringan tangan, serta giat bekerja. Tak heran, Setyo banyak yang menggemarinya termasuk termasuk ibu-ibu yang telah menganggap Setyo sebagai anaknya sendiri.

Setyo melihat, daerah Kandangan ada yang berbeda dengan daerah asalnya, yakni Solo. Menurutnya, lahan yang berada di Kandangan masih banyak kosong tanpa ditumbuhi tanamanan di atasnya, tak seperti di Solo dan Semarang, yang masyarakatnya telah memberdayakan lahan kosong dengan berbagai macam tanaman, hingga tak ada lagi ruang yang tak tertamani. Dengan modal seadanya dan hasil kongsian paman, ia dapat membeli tanah sebanyak 12 hektar untuk dapat dimanfaatkan, agar ditumbuhi singkong. “Hasilnya, luar biasa” katanya sambil tersenyum mekar.

Setyo pun rajin ke perpusatakaan daerah Kandangan untuk membaca buku-buku biologi tentang tumbuhan, khususnya mengenai singkong, agar hasil yang didapat maksimal. Disamping mempelajari dari buku-buku, Setyo dalam satu bulan, harus bermalam 4 kali di ladang singkong apalagi masa panen semakin dekat, karena daerah ladangnya saat malam tiba, serombongan hewan babi selalu datang menyerbu untuk memakan singkong tersebut sebelum di panen. Dan ia mengambil hari sabtu dan minggu untuk menginab di ladang, karena dua hari tersebut merupakan hari libur bagi PNS dan pegawai swasta pada umumnya.

Setyo mengaku itulah hidup, apapun pekerjaan itu yang penting halal dan thoyyib. ” Hidup itu harus bekerja, mencari emas se-gunung untuk sesuap nasi, tapi jangan lupa dengan yang sang pemberi rezeki”, sambungnya dengan loghat Jawa kental.

Saat akhir itu..
Entah apa yang ada dipikiran Setyo dalam beberapa bulan terakhir, tepat di akhir tahun 2009, Setyo sangat rajin dalam beribah dibanding bulan-bulan yang lewat. Ia terus saja mengingat kematian, seolah-olah dia menantikan kehidupan abadi akan menemuinya. Lelaki yang memiliki jejaring sosial seperti facebook ini, selalu menuliskan status hidup, sampai-sampai seorang kenalannya di facebook yang menulis status, “hidup adalah terminal akhir’ juga dikomentarinya, dengan mengatakan, “siapa banyak amal di dunia, maka ia berhak untuk mendapatkan balasannya di akhirat kelak. Dan sebaliknya”.

Hari demi hari telah berlalu, berganti bulan, dan tiba bulan Januari 2010. Kamis malam, adalah hari seperti biasa, namun tidak demikian bagi Setyo. Menurutnya, malam itu adalah malam terakhir baginya, namun hanya dirinyalah yang mengetahui perasaan tersebut. Malam itu juga dia membuka facebook, lalu menuliskan status berbahasa Jawa yang berbunyi” Mikul duwur mendem jero,"capek dech!" beberapa teman yang kenal dengannya turut mengomentari status tersebut, tapi tak ada komentar balik darinya. Besoknya, tepat hari jumat, tanggal 16 Januari 2010 sebuah kabar tentang Setyo memberitahukan bahwa dia telah meninggal dunia, dan jenazahnya di semanyamkan di Solo.


Tulisan ini hanyalah kisah kecil dari kisah hidup almarhum Setio Pujiandi, untuk mengenang sosok beliau.
 

Goresan Biasa Copyright © 2008 Black Brown Art Template designed by Ipiet's Blogger Template