Minggu, 27 Maret 2011

Mengingatmu, Mengenangmu

1 komentar
Ini adalah tulisan pak Herry Nurdi, mantan wartawan majalah sabili yang di tulis pada 01 Oktober 2010 lalu. Dan beliau adalah salah seorang penulis yang saya kagumi. Membaca tulisan ini, air mata saya menjadi tak terkontrol, walau dibaca berulang-ulang kalinya. Semoga tulisan pak Herry ini menjadi pelajaran bagi kita semua, walaupun setelah membacanya hanya bisa mengeluarkan air mata, setidaknya keluarnya air mata itu merupakan pelembut hati yang mujarab.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
Menangis Semalam, Audy)


Sengaja saya mengutip penggalan bait dari lagu Audy yang berjudul Menangis Semalam. Lagunya sebenarnya tentang cinta, dan saya sebenarnya tidak pernah menikmati lagu-lagu seperti ini. Hanya sepintas saja, ketika mendengarnya di siaran televisi, atau radio ketika berkendara menembus kemacetan Jakarta.
Tapi semalam, tiba-tiba lagu ini muncul dalam otak saya, mengalun seperti menjadi soundtrack ketika saya membaca sebuah artikel dalam sebuah buku. Lagu ini muncul tidak secara utuh, hanya bagian di atas saja.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu


Lalu saya mengangkat tangan dan berdoa, untuk seorang sahabat yang sangat saya rindukan, tapi dalam waktu dekat, mustahil untuk bertemu. Entah kapan, saya berdoa pada Allah untuk dipertemukan dengannya, di tempat yang sangat mulia dan dalam kondisi yang sangat bercahaya.
Buku yang saya baca berkisah tentang seorang anak muda, yang sedang menunggu adzan Subuh di Masjidil Haram. Dia membaca al Qur’an setelah menunaikan shalat malam. Lalu tibalah adzan Subuh berkumandang. Diletakkannya al Quran dan dia maju mengisi shaff kosong untuk mendirikan shalat qabliyah Subuh yang menurut Rasulullah saw, berbobot lebih berat dibanding dunia dan seisinya. Rasulullah begitu mengistimewakan shalat dua rakaat sebelum Subuh ini. Dari Aisyah, beliau mengatakan mengatakan, ”Tidak pernah Rasulullah saw sangat mewanti-wanti (sangat perhatian) atas sesuatu yang sunat melebihi pada dua rakaat qabla subuh." Sahih Al-Bukhari, I : 393, Sahih Muslim, I : 501
Bahkan, Rasulullah sendiri pernah mengatakan, dari Ibnu Sailan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda, ”Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat qabla Subuh walaupun seekor kuda mencampakkan kalian". Musnad Ahmad, II : 405, Sunan Abu Daud, II : 20, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, II : 470 dan Malik
Kembali pada kisah awal, sang pemuda lalu mendirikan shalat dua rakaat sebelum iqamat. Meski shalat ini dilaksanakan dengan ringan, tapi penuh kekhusyu’an. Usai mendirikan shalat, sang pemuda menunggu iqamat. Dan ketika pemuda ini berdiri untuk mencari shaff yang perlu diisi setelah iqamat dikumandangkan, tiba-tiba dia terjatuh lunglai, lemas tak bertenaga. Jamaah shalat Subuh segera menolongnya, melarikan sang pemuda ke rumah sakit yang tersedia.
Rupanya, sang pemuda mengalami penyumbatan pembuluh darah ke jantung. Fajar itu, ruangan unit gawat darurat sibuk mengambil langkah penyelamatan. Seorang perawat diminta untuk mendampingi sang pemuda, sementara dokter jaga dan spesialis jantung menyiapkan operasi yang mungkin harus diputuskan segera. Tapi tiba-tiba sang pemuda, meminta perawat yang di dekatnya, untuk lebih mendekat lagi. Dibisikkannya sebuah kalimat, lalu sang pemuda memiringkan badannya ke sebelah kanan, pelahan mengucapkan kalimat, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadan rasuulullaah. Hanya Engkau Tuhan yang patut disembah, dan sungguh aku bersaksi bahwa Muhammad hádala Rasul-Mu yang mulia.”
Begitu saja, lalu sang pemuda menutup mata, napas terakhirnya usai sebelum dokter melakukan apa-apa. Sang perawat bergetar, lututnya tak mampu menahan berat tubuhnya. Ia jatuh terkulai di tepi ranjang. Para dokter sibuk menanyai, tapi tak sepatah kata mampu keluar dari lisannya. Setelah semua tenang, baru sang perawat bisa bercerita, kalimat apa yang dibisikan oleh sang pemuda.
Pada perawat sang pemuda berkata, “Katakan pada dokter, tak perlu susah, ajalku sudah tiba. Dari sini aku bisa melihat tempatku di surga.” Itulah kalimat sebelum dia berbalik kanan dan mengucapkan syahadat dengan tarifan napas terakhir. Kalimat itulah yang membuat lututnya bergetar hebat dan tak bertenaga.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu


Lalu bait lagu itu muncul di dalam otak saya. Mengenang seorang sahabat, yang nyaris sama perjalanan akhir hidupnya. Namanya Dichiya Zoraya, panggilannya Dicky, usianya beberapa tahun di bawah saya. Dia memanggil saya Mas Herry, dan saya memanggilnya adik. Kami bertemu pertama kali dalam sebuah perjalanan umrah di tahun 2002. Dan sejak itu, kami sangat akrab, disatukan oleh banyak kesamaan dan perbedaan.
Salah satu kesamaan kami adalah wisata kuliner, terutama masakan Timur Tengah. Kami menjelajah berbagai rumah makan Timur Tengah yang ada di Jakarta, mulai dari kelas tenda biru, sampai rumah makan mewah. Kesamaan lain, di suka membaca dan belajar. Kami sering bertukar hasil bacaan dan berdiskusi tentang banyak hal. Kesamaan yang lain lagi, kami berdua sangat senang bertemu orang. Dia juga suka menulis. Terakhir Dicky bekerja sebagai salah satu editor penerbit ternama di Jakarta.
Saya membawanya ke dunia baru yang belum dalam dikenalnya. Saya mendorongnya untuk kenal dengan pengajian. Mempromosikan namanya pada sang calon murabbi. Bahkan saya pernah mengajaknya silaturahim ke dalam penjara, menjenguk Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Rumah Tahanan Salemba pada tahun itu. Dia memperkenalkan saya pada dunia yang juga baru. Pada teman-temannya yang gaul pada periode sebelumnya. Pada bahasa-bahasa yang tak pernah saya pahami sebelumnya. Dan dia berniat mewujudkan satu halaqah di kampusnya yang menurutnya sangat borju dan sekuler itu.
Dicky berhasil memprovokasi dan mengumpulkan teman-teman untuk ngaji bersama. Lumayan banyak untuk pertemuan pertama, 15 orang berkumpul di aula. Ia konsisten mengajak teman-temannya untuk turut mengaji bersama, bahkan ketika satu per satu peminat pengajian mahasiswa di kampus ini mundur teratur. Dari 15 orang susut menjadi delapan, lalu empat, lalu tinggal Dicky seorang. Tapi ia tetap datang. Keinginannya untuk ikut mengaji sampai terbawa-bawa dalam mimpi. Karena itu pula saya berusaha untuk membantu Dicky bertemu murabbi.
Empat hari sebelum Dicky meninggal, di bulan Agustus 2006, dia ingin memperkenalkan saya kepada editor-editor lain di tempatnya bekerja. Dan sedang berusaha dan mencoba mempromosikan tulisan-tulisan saya. ”Kita bisa sama-sama memasukkan nilai dakwah nanti, mas,” saya masih ingat betul kata-katanya.
Saya masih ingat senyumnya, tulus sekali. Jika senang, tawanya pecah. Dan setiap kali bertemu, selalu bercerita tentang keponakannya yang lucu-lucu. Setelah lulus dari kampusnya yang pertama, Dicky melanjutkan belajar pasca sarjana di Universitas Indonesia, jurusan Hubungan Internasional. Dan sudah aktif mengaji untuk beberapa lama.
Dari sang murabbi, saya mendengar kisah tentang keshalihan Dicky. Semalam, sebelum meninggal, Dicky masih sempat berkumpul dengan teman-temannya untuk mengaji. Bahkan, ia pulang pukul sepuluh malam. Dan baru saja, di pengajian kecil itu, mereka saling mengevaluasi diri, terutama kualitas ibadah. Sang murabbi kepada saya bercerita, bahwa Dicky menempati ranking pertama dalam muttaba’ah amal. Dalam tiga bulan terakhir, ia tak pernah meninggalkan shalat jamaah, target-target tilawah pun, sempurna. Shalat malam ia kerjakan, puasa sunnah ia tunaikan.
Subuh di hari ia meninggal, ia masih shalat berjamaah di masjid depan rumahnya, di Duren Sawit, Jakarta Timur. Bahkan, setelah Subuh, ia masih menyempatkan untuk tilawah. Kemudian ia jatuh tertidur, dan malaikat menjemputnya dalam keadaan sedang berpuasa sunnah. Saat saya mengangkat jenazahnya, sebelum dimandikan, saya masih melihat bibirnya tersenyum. Saya hanya bisa menyebut, Allah, Allah, Allah, dan menahan tangis dalam dada. Saya mengusap tangannya, mengusap dahinya. Dan itu membuat pundak saya semakin terguncang oleh tangis yang tak tertahan.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu


Semalam saya mengingatnya kembali. Saya menangis dan berdoa. Sangat singkat perjumpaan kami, hanya beberapa tahun saja. Dan semalam sangat merindukannya. Saya merindukan orang-orang muda yang berjerih payah mencari ridha-Nya. Saya merindukan anak-anak muda yang memiliki fikrah jernih, cerdas, sekaligus santun dan penuh sayang pada sesamanya. Saya berdoa kepada Allah, semoga Dicky juga telah melihat tempatnya yang mulia di sisi Allah azza wa Jalla. Dan semoga Allah mempertemukan saya di tempat yang mulia itu, dengan sahabat-sahabat saya yang mulia. Aku rindu padamu, dik! Sangat-sangat rindu.

Bukan Publikasi Umum

0 komentar
Tidak seperti biasanya, saya lebih dulu mencek email setiap awal beraktifitas. Tapi, hari ini entah kenapa hal itu saya tidak lakukan.

Selang beberapa jam telah lewat, pekerjaan pun telah selesai dikerjakan, tinggal mengirimkan hasilnya, eh, sesuatu telah terjadi. Email yang selama ini saya gunakan untuk mengirim hasil tidak bisa di buka, waduh..

Bermacam cara untuk membuka email tak kunjung ampuh, dengan mencoba keberbagai komputer, tapi hasilnya nihil.

Jalan satu-satunya ialah melaporkan kepada ahlinya, bahwa email tidak bisa loggin. Tindakan pun secara dilakukan. Dan penyebabnya adalah...

Ssstt, penyebabnya bukan publiksi umum, heee

Kamis, 24 Maret 2011

Ke Pegadaian Syariah

2 komentar
Matahari tepat berada di atas kepala kami. Ditemani sebuah motor berwarna biru ke pudaran, kami menuju ke sebuah ruko di pinggiran Jalan A Yani Km 5 Banjarmasin. Berjejer kendaraan roda dua memadati ruko tersebut, namun ternyata kami salah masuk halaman, ruko yang kami tuju hanya terdapat beberapa buah saja kendaraan roda dua. Terlihat seorang satpam duduk dengan muka mayun memandang sebuah televisi, di depan ruko dengan jelas tertulis Pengadaian Syariah.

Saya dan mb uci langsung masuk ke dalam ruangan tanpa dipersilahkan masuk, namun kami tak lupa mengucapkan salam terlebih dahulu. Di dalam ruangan ber AC tersebut, kami disambut dengan ramah oleh dua lelaki dewasa. Mungkin, mereka kira kami ingin mengadaikan sesuatu barang atau penampilan kami yang agak intelek kala itu, he..

Tanpa berbasa-basi kami langsung memperkenalkan diri kepada dua lelaki dewasa tersebut, dan menyatakan tujuan kedatangan kami berdua, yakni ingin wawancara. Dan mereka menyambut baik keinginan kami berdua.

Obrolan biasa pun dimulai. Dengan nada gugup mb Uci memulainya dengan berbagai pertanyaan. Tapi sebelumnya lebih afdhal jika saya menggambarkan sosok dua lelaki dewasa itu. Namanya Ziani Abdullah. Lelaki yang diperkirakan baru berumur 27 tahunan. Beliau adalah salah seorang karyawan disana. Entah berapa lama telah bekerja di Pegadaian Syariah atau sudah punya anak berapa, kami kira itu pertanyaan yang kurang penting untuk ditayakan. Nah, dengan beliulah kami mendapatkan informasi perkembangan pegadaian syariah dari awal pendirian di tahun 2004 sampai sekarang.

Mengenakan kacamata tebal, agak putih dan berwibawa, beliaulah bapak satunya. Memang, sampai saat ini saya pribadi menyatakan penyesalan yang sangat mendalam. Menyesal tidak menanyakan nama beliau :(, padahal nama itu sangat penting. Terlihat dari auranya beliau adalah seorang pimpinan disana. Dengan komat-kamit menghitung dan agak terlihat berkonsentrasi penuh, beliau tetap memperhatikan pembicaraan kami bertiga. Sesekali beliau menambahkan jawaban yang diberikan pak Zainal.

Kembali ke obrolan. Santai namun pasti, pak Zaini memaparkan perkembangan pegadaian syariah. Dimulai tahun 2004 silam, pegadaian syariah ini sudah mempunyai nasabah 574 dan meningkat drastis di tahun 2005 sebanyak 2.864 nasabah. Puncaknya di tahun 2009, nasabah di tempat beliau bekerja sebanyak 91.150 nasabah.

Dari data tersebut, menandakan bahwa tingkat keperluan mendesak masyarakat terhadap uang semakin meningkat, seiring tigkat kebutuhan hidup sangat tinggi dengan harga barang yang beredar juga tinggi pada saat itu. Apalagi di tahun 2009, terjadi krisis global di Amerika Serikat, yang mau tak mau Indonesia juga ikut terkena imbasnya.

Disamping itu, pak Zaini mengungkapkan, sepanjang perkembangan Pegadaian Syariah hingga sekarang banyak lika-liku yang mereka dapati. Mulai dari nasabah yang biasa-biasa saja sampai nasabah yang yang luar biasa galaknya, namun meskipun begitu mereka tetap melayani dengan santun. Sebab, nasabah ialah raja, sesuai slogan pelayanan bahwa costumer is king.

Selasa, 22 Maret 2011

Merindukan

2 komentar
Entah beberapa hari ini, saya merindukan seorang kawan. Seorang kawan yang sejak lama telah saya kenal, saat menjadi mahasiswi di Perbankan Syariah dulu.

Terakhir saya berjumpa, tubuhnya mengurus dan matanya semakin meruncing, sangat jauh berbeda ketika saya baru mengenalnya beberapa tahun silam. Namun, saat itu ia terlihat ceria di hadapan teman-temannya, tanpa ada masalah atau memang sengaja ingin melepas masalah yang menimpanya.

Dipertemuan itu pula, ia pun mengatakan kepada saya "biarlah, biarkan waktu akan menjawabnya" dengan dana serak.

Dan saat ini, di hari ini, entah kenapa saya merindukannya..

Rabu, 09 Maret 2011

Fublikasi Kemesraan

2 komentar
Perlukah kemesraan itu dipublikasikan? Pertanyaan ini berawal saat melihat album seorang teman yang baru saja melangsung pernihakan, baru sepuluh hari, terhitung sampai hari ini. Sah-sah saja memang, kalau mesra, lah pengantin baru. Dan tidak masalah, toh kemesraan itu terletak pada tempatnya, yakni halalnya hubungan sang pelaku .

Jadi, dimana letak keanehannnya..

Kemesraan yang dibingkai lewat alat kenangan lalu di publikasikan ke khal banyak. Beberapa orang meanggap hal itu adalah milik private, sehingga tidak seharusnya di publikasikan, tak layak dan malu. Apalagi mempublikasikannya lewat jejaring sosial.

Belajar dari kehidupan orang. Beberapa tahun yang lalu, seorang penceramah, selalu mengekspos kemesraan dengan istrinya lewat media massa. Cerita masa lalu, sampai ke rumah tangga-an sampai di publikasikan. Sambil memegang tangan, bahkan sang penceramah secara blakan mencium kening istrinya yang terekspos media televisi.

Namun, beberapa tahun lewat kemesraan itu berubah. Sang penceramah kawin lagi dengan perempuan lain. Padahal beliau sudah mempunyai anak lebih dari cukup. Waktu pun berlalu, dan akhirnya istri sang penceramah di gugat cerai oleh beliau.

Banyak kalangan yang menyayangkan putusnya hubungan tersebut, ada yang kecewa dan lainnya. Nah dari situlah dapat diambil pelajarannya.

Menurut saya pribadi, sebenarnya sah-sah saja dalam hal bermesraan, tidak ada yang melarang. Jika publikasi kemesraan itu bertujuan untuk menjadikan teladan bagi pasangan lain, hal itu boleh-boleh saja tapi lebih baik sesekali saja di publikasikan. Baiknya, bersikap wajar, dan nikmati kemesraan itu hanya berdua saja, tanpa di publikasikan ke khal banyak orang..

9 Maret 2011
 

Goresan Biasa Copyright © 2008 Black Brown Art Template designed by Ipiet's Blogger Template