Ini adalah tulisan pak Herry Nurdi, mantan wartawan majalah sabili
yang di tulis pada 01 Oktober 2010 yang silam. Dan beliau adalah salah seorang
penulis yang saya kagumi. Membaca tulisan ini, air mata saya menjadi tak
terkontrol, walau dibaca berulang-ulang kalinya. Selamat membaca..
Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
(Menangis Semalam, Audy)
Sengaja saya mengutip penggalan bait dari lagu Audy yang berjudul
Menangis Semalam. Lagunya sebenarnya tentang cinta, dan saya sebenarnya tidak
pernah menikmati lagu-lagu seperti ini. Hanya sepintas saja, ketika
mendengarnya di siaran televisi, atau radio ketika berkendara menembus
kemacetan Jakarta.
Tapi semalam, tiba-tiba lagu ini muncul dalam otak saya, mengalun
seperti menjadi soundtrack ketika saya membaca sebuah artikel dalam sebuah
buku. Lagu ini muncul tidak secara utuh, hanya bagian di atas saja.
Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
Lalu saya mengangkat tangan dan berdoa, untuk seorang sahabat yang
sangat saya rindukan, tapi dalam waktu dekat, mustahil untuk bertemu. Entah
kapan, saya berdoa pada Allah untuk dipertemukan dengannya, di tempat yang
sangat mulia dan dalam kondisi yang sangat bercahaya.
Buku yang saya baca berkisah tentang seorang anak muda, yang
sedang menunggu adzan Subuh di Masjidil Haram. Dia membaca al Qur’an setelah
menunaikan shalat malam. Lalu tibalah adzan Subuh berkumandang. Diletakkannya
al Quran dan dia maju mengisi shaff kosong untuk mendirikan shalat qabliyah
Subuh yang menurut Rasulullah saw, berbobot lebih berat dibanding dunia dan
seisinya. Rasulullah begitu mengistimewakan shalat dua rakaat sebelum Subuh
ini. Dari Aisyah, beliau mengatakan mengatakan, ”Tidak pernah Rasulullah saw
sangat mewanti-wanti (sangat perhatian) atas sesuatu yang sunat melebihi pada
dua rakaat qabla subuh." Sahih Al-Bukhari, I : 393, Sahih Muslim, I : 501
Bahkan, Rasulullah sendiri pernah mengatakan, dari Ibnu Sailan
dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda, ”Janganlah kalian
meninggalkan dua rakaat qabla Subuh walaupun seekor kuda mencampakkan
kalian". Musnad Ahmad, II : 405, Sunan Abu Daud, II : 20, Sunan Al-Baihaqi
Al-Kubra, II : 470 dan Malik
Kembali pada kisah awal, sang pemuda lalu mendirikan shalat dua
rakaat sebelum iqamat. Meski shalat ini dilaksanakan dengan ringan, tapi penuh
kekhusyu’an. Usai mendirikan shalat, sang pemuda menunggu iqamat. Dan ketika
pemuda ini berdiri untuk mencari shaff yang perlu diisi setelah iqamat
dikumandangkan, tiba-tiba dia terjatuh lunglai, lemas tak bertenaga. Jamaah
shalat Subuh segera menolongnya, melarikan sang pemuda ke rumah sakit yang
tersedia.
Rupanya, sang pemuda mengalami penyumbatan pembuluh darah ke
jantung. Fajar itu, ruangan unit gawat darurat sibuk mengambil langkah
penyelamatan. Seorang perawat diminta untuk mendampingi sang pemuda, sementara
dokter jaga dan spesialis jantung menyiapkan operasi yang mungkin harus
diputuskan segera. Tapi tiba-tiba sang pemuda, meminta perawat yang di
dekatnya, untuk lebih mendekat lagi. Dibisikkannya sebuah kalimat, lalu sang
pemuda memiringkan badannya ke sebelah kanan, pelahan mengucapkan kalimat, “Asyhadu
allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadan rasuulullaah. Hanya Engkau
Tuhan yang patut disembah, dan sungguh aku bersaksi bahwa Muhammad hádala
Rasul-Mu yang mulia.”
Begitu saja, lalu sang pemuda menutup mata, napas terakhirnya usai
sebelum dokter melakukan apa-apa. Sang perawat bergetar, lututnya tak mampu
menahan berat tubuhnya. Ia jatuh terkulai di tepi ranjang. Para dokter sibuk
menanyai, tapi tak sepatah kata mampu keluar dari lisannya. Setelah semua
tenang, baru sang perawat bisa bercerita, kalimat apa yang dibisikan oleh sang
pemuda.
Pada perawat sang pemuda berkata, “Katakan pada dokter, tak perlu
susah, ajalku sudah tiba. Dari sini aku bisa melihat tempatku di surga.” Itulah
kalimat sebelum dia berbalik kanan dan mengucapkan syahadat dengan tarifan
napas terakhir. Kalimat itulah yang membuat lututnya bergetar hebat dan tak
bertenaga.
Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
Lalu bait lagu itu muncul di dalam otak saya. Mengenang seorang
sahabat, yang nyaris sama perjalanan akhir hidupnya. Namanya Dichiya Zoraya,
panggilannya Dicky, usianya beberapa tahun di bawah saya. Dia memanggil saya
Mas Herry, dan saya memanggilnya adik. Kami bertemu pertama kali dalam sebuah
perjalanan umrah di tahun 2002. Dan sejak itu, kami sangat akrab, disatukan
oleh banyak kesamaan dan perbedaan.
Salah satu kesamaan kami adalah wisata kuliner, terutama masakan
Timur Tengah. Kami menjelajah berbagai rumah makan Timur Tengah yang ada di
Jakarta, mulai dari kelas tenda biru, sampai rumah makan mewah. Kesamaan lain,
di suka membaca dan belajar. Kami sering bertukar hasil bacaan dan berdiskusi
tentang banyak hal. Kesamaan yang lain lagi, kami berdua sangat senang bertemu
orang. Dia juga suka menulis. Terakhir Dicky bekerja sebagai salah satu editor
penerbit ternama di Jakarta.
Saya membawanya ke dunia baru yang belum dalam dikenalnya. Saya
mendorongnya untuk kenal dengan pengajian. Mempromosikan namanya pada sang
calon murabbi. Bahkan saya pernah mengajaknya silaturahim ke dalam penjara, menjenguk
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Rumah Tahanan Salemba pada tahun itu. Dia
memperkenalkan saya pada dunia yang juga baru. Pada teman-temannya yang gaul
pada periode sebelumnya. Pada bahasa-bahasa yang tak pernah saya pahami
sebelumnya. Dan dia berniat mewujudkan satu halaqah di kampusnya yang
menurutnya sangat borju dan sekuler itu.
Dicky berhasil memprovokasi dan mengumpulkan teman-teman untuk
ngaji bersama. Lumayan banyak untuk pertemuan pertama, 15 orang berkumpul di
aula. Ia konsisten mengajak teman-temannya untuk turut mengaji bersama, bahkan
ketika satu per satu peminat pengajian mahasiswa di kampus ini mundur teratur.
Dari 15 orang susut menjadi delapan, lalu empat, lalu tinggal Dicky seorang.
Tapi ia tetap datang. Keinginannya untuk ikut mengaji sampai terbawa-bawa dalam
mimpi. Karena itu pula saya berusaha untuk membantu Dicky bertemu murabbi.
Empat hari sebelum Dicky meninggal, di bulan Agustus 2006, dia
ingin memperkenalkan saya kepada editor-editor lain di tempatnya bekerja. Dan
sedang berusaha dan mencoba mempromosikan tulisan-tulisan saya. ”Kita bisa
sama-sama memasukkan nilai dakwah nanti, mas,” saya masih ingat betul
kata-katanya.
Saya masih ingat senyumnya, tulus sekali. Jika senang, tawanya
pecah. Dan setiap kali bertemu, selalu bercerita tentang keponakannya yang
lucu-lucu. Setelah lulus dari kampusnya yang pertama, Dicky melanjutkan belajar
pasca sarjana di Universitas Indonesia, jurusan Hubungan Internasional. Dan
sudah aktif mengaji untuk beberapa lama.
Dari sang murabbi, saya mendengar kisah tentang keshalihan Dicky.
Semalam, sebelum meninggal, Dicky masih sempat berkumpul dengan teman-temannya
untuk mengaji. Bahkan, ia pulang pukul sepuluh malam. Dan baru saja, di
pengajian kecil itu, mereka saling mengevaluasi diri, terutama kualitas ibadah.
Sang murabbi kepada saya bercerita, bahwa Dicky menempati ranking pertama dalam
muttaba’ah amal. Dalam tiga bulan terakhir, ia tak pernah meninggalkan shalat
jamaah, target-target tilawah pun, sempurna. Shalat malam ia kerjakan, puasa sunnah
ia tunaikan.
Subuh di hari ia meninggal, ia masih shalat berjamaah di masjid
depan rumahnya, di Duren Sawit, Jakarta Timur. Bahkan, setelah Subuh, ia masih
menyempatkan untuk tilawah. Kemudian ia jatuh tertidur, dan malaikat
menjemputnya dalam keadaan sedang berpuasa sunnah. Saat saya mengangkat
jenazahnya, sebelum dimandikan, saya masih melihat bibirnya tersenyum. Saya
hanya bisa menyebut, Allah, Allah, Allah, dan menahan tangis dalam dada. Saya
mengusap tangannya, mengusap dahinya. Dan itu membuat pundak saya semakin
terguncang oleh tangis yang tak tertahan.
Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
Semalam saya mengingatnya kembali. Saya menangis dan berdoa.
Sangat singkat perjumpaan kami, hanya beberapa tahun saja. Dan semalam sangat
merindukannya. Saya merindukan orang-orang muda yang berjerih payah mencari
ridha-Nya. Saya merindukan anak-anak muda yang memiliki fikrah jernih, cerdas,
sekaligus santun dan penuh sayang pada sesamanya. Saya berdoa kepada Allah,
semoga Dicky juga telah melihat tempatnya yang mulia di sisi Allah azza wa
Jalla. Dan semoga Allah mempertemukan saya di tempat yang mulia itu, dengan
sahabat-sahabat saya yang mulia. Aku rindu padamu, dik! Sangat-sangat rindu.
0 komentar:
Posting Komentar