Senin, 29 Agustus 2011

Sebuah Pengalaman di Bulan Ramadan


“Ramadhan bukan saja bulan pengampunan dan rahmat,
 tapi bulan penuh hikmah”


Menjelang Ramadhan telah berakhir, perintah untuk membayar zakat fitrah wajib dilaksanakan bagi setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa. Hal itu maksudkan agar umat Islam saat menyambut idul fitri dan seterusnya diharapkan kembali kepada fitrah. Dimana pada awal kejadian, semua manusia melakukan perjanjian primordial yaitu sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan semesta alam, seperti bayi yang baru saja dilahirkan tanpa dosa.

Sebelum dua hari menjelang hari Idul Fitri, saya dan mama pergi ke tetangga untuk mendistribusikan zakat fitrah berupa beras yang kami konsumsi di bulan Ramadhan. Berhubung di tempat kami belum ada lembaga yang mengelola zakat.

Penyaluran zakat kali ini kami salurkan kepada janda tua (nenek) yang perekonomiannya dapat dikatakan berkurangan.  Memang, kami harus memilah-milah kalau urusan penerima zakat ini, yang pasti harus sesuai yang dalam surat At-Taubah ayat 6.

Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang faqir, dan orang-orang miskin, dan Amil-amil yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang keputusan) dalam perjalanan. (Ketetapan hukum yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana


Setibanya disebuah rumah yang dituju, suasana pada saat itu terlihat sangat sepi. Beberapa kali kami mengetok pintu rumah, namun tak ada yang merespon. Akhinya, seorang nenek berbadan setengah tegap membukakan pintu dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah beliau yang sederhana.

Mama pun langsung mengutarakan maksud kedatangan kami kepada beliau. Kemudian transaksi dan akad zakat berlangsung. Setelah prosesi tersebut selesai, mama membeli kembali beras yang beliau zakati sesuai dengan harga beras di pasaran, dengan persetujuan si pemilik beras, yaitu nenek tadi. 

Saya melihat betapa senangnya wajah sang nenek saat itu, sulit untuk digambarkan. Seorang nenek yang sangat berumur, yang tak mampu lagi mencari nafkah sendiri. Karena semua urusan kami sudah selesai, kami pun berencana untuk pamit pulang ke rumah. Namun, saat kami mau meninggalkan rumah beliau, sang nenek dengan suara sarut mengatakan bahwa sedang dilanda kehabisan beras.

“Di rumah, lagi habis bebaras” kata beliau dengan bahasa khas daerah Kandangan

Mendengar hal itu, mama langsung memberikan satu liter beras kepada beliau untuk berbuka puasa.

Dengan binaran air mata, sang nenek berulang-ulang kali mengucapkan rasa syukur  dan terimakasih kepada kami. Saya sangat terkesan dengan kejadian ini. Dan hikmah (pelajaran) yang dapat dipetik dari semua ini diantanya:

Pertama, sebelum membeli beras yang sudah zakati, seharusnya sang pembeli bertanya kepada si penerima apakah beliau punya beras di rumah atau tidak. Biasanya, dari kebanyakan penerima zakat fitrah, mereka beringinan mendapatkan uang untuk membeli keperluan sehari-hari, atau sebaliknya yaitu beras. Jadi tidak salahnya, harus ditanyakan terlebih dulu.

Kedua, untuk lembaga pengelola zakat (amil zakat), atau orang yang mengeluarkan zakat (musta’mal) sebaiknya kalau ingin berzakat lebih afdholnya menyerahkan zakatnya langsung ke tempat sasaran penerima zakat (mustahiq), bukan si mustahiq yang mendangi ke tempat musta’mal. Bercermin dari kejadian pada tahun 2008 silam di Pasuruan Jawa Timur.  Pembagian zakat telah menelan 21 mayat korban zakat maut, semuanya wanita yang diantaranya dari meraka telah berumur lanjut usia.

Ketiga, dalam penyalurkan zakat, menurut DR. Didin Hafidhuddin, lebih afdholnya diterima oleh orang yang dekat dengan pintu rumah kita. Wallahu’alam Bishawab

0 komentar:

 

Goresan Biasa Copyright © 2008 Black Brown Art Template designed by Ipiet's Blogger Template