Selasa, 30 Agustus 2016

It’s The Time To Say Good Bye


Hari panas terik. Kacamata hitam tak kubuka ketika menulis pada bon “1 gelas pure water” dengan penuh kelegaan setelah kupesan minuman itu dalam hawa gersang ini. Diangkasa sedang melintas sebuah pesawat terbang yang bernama Constellation kepunyaan BOAC berbolak-balik. Bunyinya berat menggetarkan udara yang sejuk di bawah atap “airport”, restoran lapangan terbang, tempat aku duduk.

Dengan penuh kenikmatan, aku bersandar ke kursi memandang landasan yang putih, menyilaukan mata ketika terkena sinar matahari. Membuatku setengah ngantuk. Sedangkan pelayan-pelayan restoran itu tetap gesit berjalan kian kemari untuk melayani tamu-tamunya dari berbagai bangsa.

Di belakangku terdengar suara lelaki berkata, “sebentar lagi announcer akan  memanggil. Nah Tina, selamat tinggal. Jangan lupa hari jum’at ya, dua minggu lagi, kau jemput aku di sini.” Kemudian aku dengar suara anak kecil, “ayah, ayah! Ayah mau pelgi?”
“ya Nina, ayah pergi. Nina jangan cengeng ya, nanti ayah bawakan boneka untuk Nina.”
“boneka ayah? Boneka yang bisa tidul?”
“ya, boneka  yang bisa tidur, bisa membuka dan menutup mata. Juga bisa menangis”
Kemudian suara wanita, “lekaslah kembali, Dik. Kalau bisa sebelum dua minggu itu.”
“kuusahakan Tin, meskipun kansnya sedikit. Persiapan untuk mendirikan cabang di singapura kurang lancar sampai sekarang. Oleh karena itu, aku tangani sendiri.”
“ayah, ayah pelgi kemana?” Tanya anak kecil itu lagi. Dan kini aku melirik kearah suara itu. Lelaki yang bernama “Dik” tengah berdiri sambil menutup tasnya. Istrinya yang dipanggil dengan nama “Tina” duduk memandang kepadanya. Nina, seorang gadis kecil sekitar umur tiga tahun mencengkam celana ayahnya. “pelgi kemana ayah?” tanyanya kembali.
Ayahnyapun selesai menutup tas. Lalu duduk kembali dan memangku Nina sambil tersenyum.
“ayah mau pergi terbang, Nina!”
“kemana, ayah?”
“Ketempat dewi-dewi yang cantik, Nina”
”dimana itu ayah?”
”di sorga”
”di solga?”
”ya”
”ayah bisa telbang, ayah”
”tidak manis. Ayah naik burung, itu dia menunggu”
”bulung ayah?”
”ya. Itu dia”
”bulung apa itu, ayah?”
”namanya plane, Nina”
”pelin, ayah?”
”ya. Plane”
”besal betul ya ayah, bulungnya?”
”ya, nanti ayah dan orang-orang masuk ke perutnya”
”ayah dimakan oleh bulung itu?” tanya Nina tercengang dan khawatir.
”tiiidak Nina, hehe. Ayah masuk lewat lubang itu di perutnya”
sejurus Nina terdiam, kemudian dia mulai kembali.
’bulungnya kok diam saja, ayah?”
”ya. Sekarang dia masih tidur”
”tidul”
”ya, masih tidur karena dia sangat kelelahan”
”nanti dia bangun?”
”ya. Kalau mau terbang, dia bangun lalu mengaum seperti singa”

Anak kecil itu bertanya terus tak pernah henti. Tetapi tak begitu jelas kedengaran karena announcer sedang memanggil para penumpang lewat via lodspeaker. Dengan ucapan dan gaya yang sama, ia mengumumkan pangilan dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda. Kedua suami istri dan anak itu berdiri, lalu menuju ke tempat duane. Dan aku melihat ke depan lagi. Sudah kutemui satu gelas pure water yang ku pesan dari tadi diatas meja.


Ketika kumasukkan minuman tersebut ke dalam mulutku, tiba-tiba terdengar alunan melodi dengan sayu ”auf wiederseh’n” dari loudspeaker. Pikiranku hanyut. Tatkala itu, aku lihat nyonya Tina kembali dan berjalan lewat restoran menuju pagar besi yang memisahkan landasan dengan pekarangan ”airport”. Orang-orangpun berkerumuan memandang kepada plane yang mau berangkat. Dan loudspeaker terus saja mendendangkan ”auf wiederseh’n, auf wiederseh’n, we’ll meet again aweetheart” yang selalu diulang oleh sterwardess  dan diringi lagu berikutnya ”it’s the time to say good bye”. Kulihat beberapa perempuan menangis setelah mendengarkan lagu tersebut. Akupun pergi dan tak lupa membayar bon.
Pada hari berikutnya, aku dengar kabar bahwa constellation itu jatuh terbakar habis di Singapura. Semua penumpang dari Jakarta tewas. Aku teringat kepada jawaban Dik kepada Nina, ”ayah mau kesorga”.

Dua minggu kemudian tepatnya hari jum’at, aku dari percetakan ”martaco” terus ke airport. Di pintu, ku tertegun sebentar. Pada kursi yang ditempati dua minggu yang lalu, duduklah nyonya Tina dan Nina berdiri didekatnya. Kebetulan sekali, kursi yang kutempati dua minggu lalu juga kosong. Akupun duduk dan memesan orange just. Tepat KLM dari Singapura datang. Aku melirik lagi. Kulihat nyonya Tina berdiri. Wajahnya yang belia merah dan basah. Matanya bengkak. Hidungnya kemerah-merahan. Nina mencengkam kainnya.
”mama, ayah datang?” Tanya Nina. Ibunya menghempaskan dirinya ke kursi sambil menangis tersedu-sedu.
”mama, mama kok nangis?” tanya Nina tak mengerti. Tina meraih anaknya ke pangkuan. ”diamlah Nina, diam dulu sayang” katanya terisak-isak. Dan Nina tak bertanya lagi. Meskipun cara pandangan Nina kepada ibunya membayangkan tanda tanya yang besar.

Tinapun menengok kepada dua pesawat terbang yang berada didekat restoran itu, sebuah plane BOAC yang hendak berangkat dan plane KLM yang baru datang. ”auf wiederseh’n” mengalun kembali.
”mama” tanya Nina ”mama, ayah kok tidak datang-datang dari solga?”
Nyonya Tina tak segera menjawab pertanyaan anaknya. Rupanya dia berjuang melawan tangis.
”tidak Nina, ayah tidak pulang”
”kenapa mama? Ayah bilang mau bawakan boneka dali solga. Boneka yang bisa tidul dan nangis. Kenapa tidak datang mama?”
”tidak Nina” tangis ibunya. ”ayah tidak akan pulang dari sorga. Mari kita pulang sayang”

Diapun melambai pelayan yang telah menanti. Membayar. Lalu berjalan pergi. Aku pandang mereka sampai lenyap dibalik pintu. Dari loudspeaker terdengar it’s the time to say good bye.

Disadur dari karangan Nugroho Notosusanto. Jakarta, 12 Maret 1954
(judul asli KAMAYORAN 1945)   


0 komentar:

 

Goresan Biasa Copyright © 2008 Black Brown Art Template designed by Ipiet's Blogger Template