Jalan-jalan ke
kota Banjarmasin, dengan angle
berbeda. Kali ini aku berjalan di kawasan sentra antasari. Menyelusuri
pertokoan-pertokoan kosong di belakang mesjid besar, Miftahul Ihsan. Ini
bukanlah sekadar berjalan biasa, ada
yang ingin ku cari di sekitar komplek pertokoan tersebut. Di temani paman dan
istri beliau, ditambah gerimis hujan yang turun, aku berjalan mengiringi
mereka.
Dalam
jalan-jalan tersebut aku melihat beberapa keluarga yang tinggal di pertokoan
yang masih kosong. Satu toko dihuni 4 orang namun ada juga yang lebih. Mereka
memandangi kami, ada yang tersenyum dan adapula yang acuh. Ada juga yang sibuk
memasak di depan toko dengan peralatan seadanya.
Menurut warga
setempat, mereka merupakan pendatang dari luar daerah. Merantau ke kota
Banjarmasin, untuk mengubah nasib hidup dari kampung. Memang setiap kota besar,
akan menemui hal seperti ini. Akan tetapi, untuk di Indonesia, kasus seperti
ini banyak terjadi, terutama di ibukota, salah satunya di kota Banjarmasin.
Banyak pekerjaan real biokrasi
pemerintah, bagaimana mengubah keadaan ini menjadi lebih baik. Walaupun sudah
berbuat, namun terlihat belum maksimal. Karena masih ada nasib orang-orang
terlantar seperti mereka yang belum tertangani. Bukan sekadar menyetor PAD atau
membuat dan mengajukan anggaran untuk kesejahteraan, tapi seharusnya,
distribusinya memang benar-benar harus dijalankan sesuai target sasaran, dan
bukan untuk diselewengkan dengan data yang fiktif.
Namun, yang
terpenting dari semua itu, bagaimana empati dan simpati kita ketika melihat
titik dari angle kehidupan ini. Apa yang harus kita lakukan untuk mereka. Diam,
atau malah mencaci maki, atau memberi komentar tanpa ada aksi konkrit. Apa yang
harus kita lakukan untuk merubah keadaan. Yang pasti perubahan itu terjadi
bermula dari kesadaran pribadi sendiri. Karena orang-orang yang terlantar
adalah manusia, dan kita adalah manusia, dimanakah rasa kemanusian itu berada?
catatan bulan tahun december 2012
0 komentar:
Posting Komentar